RASM UTSMANI
Dosen Pengampu : Abdul Azis, S.Pd.I., M.S.I., M.Si
Oleh :
Jamet Wolio 17010102034
Ahmad Syaifuddin 17010102050
Musliha 17010102037
Yusfiati 17010102044
Miyarti 17010102051
Astrid Andriani 17010102040
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
KENDARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasm Qur’an merupakan salah satu bagian
disiplin ilmu al-Qur’an yang mana didalamnya mempelajari tentang penulisan
Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan
lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasmul Qur’an dikenal
juga dengan nama Rasm Utsman.
Tidak seperti di masa kini, mushaf Al-Qur’an di masa kenabian maupun masa
para sahabat sangat berbeda dengan mushaf Al-Qur’an masa kini karena dimasa itu
belum ada aturan-aturan mengenai penulisan Al-Qur’an. Bahkan
Al-Qur’an masih belum terbentuk menjadi mushaf, melainkan masih berhamburan di
pelepah kurma, tulang belulang, batu, dan media menulis lainnya pada saat itu.
Selain
Al-Qur’an belum menjadi mushaf, pada saat itu mushaf para sahabat pun berbeda
antar satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya dimaksudkan
hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada
generasi sesudahnya. Akan tetapi, pada zaman khalifah Utsman Bin Affan wilayah Islam bertambah luas
sehingga terjadi pembauran antara penduduk yang berasal dari bangsa Arab dan
bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab.
Keadaan ini
menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perpecahan di
kalangan muslimin tentang bacaan Al-Qur’an, Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf
Al-Imam. Karena pada zaman Utsman bin Affan kekuasaan Islam telah tersebar
meliputi daerah-daerah selain Arab yang memiliki sosio kultur yang berbeda. Hal
ini menyebabkan percampuran kultur antara daerah. Sehingga ditakutkan budaya Arab murni termasuk di dalamnya lahjah
dan cara bacaan menjadi rusak atau bahkan hilang tergilas budaya dari daerah
lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan adalah rusaknya budaya oral Arab akan
menyebabkan banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.
Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada
Sayyidina ‘Utsman R.A. istilah ini muncul setelah selesainya penyalinan
Al-Qur’an yang dilakukan oleh tim yang dibentuk Utsman pada tahun 25 Hijriyah.
Para Ulama Mengistilahkan cara penulisan ini dengan “Rasm ‘Utsmani”. Yang
kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin ‘Utsman R.A.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Rasm Al-Qur’an ?
2.
Bagaimanakah sejarah Rasm Utsmani?
3.
Bagaimanakah pola penulisan Rasm Utsmani?
4.
Bagaimanakah pendapat Ulama tentang Rasm Utsmani?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Rasm A,l-Qu’an.
2.
Untuk mengetahui sejarah Rasm Utsmani.
3.
Untuk mengetahui pola penulisan Rasm Utsmani.
4.
Untuk mengetahui
pendapat Ulama tentang Rasm Utsmani.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasm Al-Qur’an
Secara bahasa, rasm
berasal dari kata رسم –
يرسم - رسما yang berarti menggambar atau melukis.[1]Kata
rasm juga bisa diartikan sebagai
sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi rasm adalah bentuk penulisan yang mempunyai aturan tertentu.
Al-syaf’iy mengatakan bahwa kata Al-Qur’an tidak menggunakan huruf
hamzah dan tidak diambil dari قرأ karena kalau diambil dari kata قرأ pasti semua yang dibaca
dinamakan Al-Qur’an. Akan tetapi, kata Al-Qur’an itu merupakan nama bagi
Al-Qur’an seperti Taurat dan Injil.
Dr. Abdu al-mun’im dan Dr. TM Hasbi ash-Shiddieqiy mengatakan bahwa
kata al-Qur’an adalah kata dasar dari قرأ yang berarti تلا (membaca). Akan tetapi,
diartikan isim maf’ul yaitu مقروء karena itu kata al-qur’an berarti yang
dibaca. Dari pendapat para ‘ulama diatas disimpilkan bahwa al-qur’an
menggunakan hamzah dan merupakan nama bagi kalamullahi yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana
firman Allah ﷻ : QS. Al-Baqarah (2): 185,QS. An-Nisa (4)
: 82,QS.Al-A’raf (7) : 204, dll.[2]
Kata al-Rasm berarti bekas yang tertinggal,
dapat juga bermakna al-atsar atau bekas sesuatu. Maksudnya adalah bekas berupa
tulisan dalam bentuk lafaz, sehingga ia pula dapat berarti menggambar atau melukis.
Secara istilah, pengertian rasm adalah tulisan
dalam bentuk kalimat dengan huruf hijaiyah yang mempunyai tanda tempat
berhenti, sehingga rasm Al-Qur’an dapat dipahami secara sederhana yaitu tulisan
Al-Qur’an dengan huruf-huruf Arab.
Istilah rasm pada dasarnya mulai dikenal
ketika pengumpulan al-Qur’an pada masa khalifah Utsman bin Affan. Beliau
membentuk panitia untuk menulis beberapa naskah Al-Qur’an agar disebarkan ke
daerah-daerah Islam yang menempuh cara-cara khusus dalam menulis lafaz-lafaz
yang digunakan, di namai dengan istilah rasm al-mushaf atau al-rasm al-Utsmaniy.
Dengan demikian, istilah rasm dalam ulum al-Qur’an diartikan sebagai pola
penulisan Al’Qur’an yang digunakan Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya
ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. [3]
B. Sejarah Rasm al-Qur’an
Sejarah Arab menerangkan bahwa di tanah
Arab khususnya di Hijaz sangat sedikit orang-orang yang pandai menulis. Setelah
Islam datang Nabi Muhammad saw. Dianggap orang yang paling berjasa dalam
mendorong dan memajukan budaya tulis menulis, bahwan memajukan kesusastraan
Arab pada umunya. Walaupun beliau adalah orang ummi seperti kebanyakan orang
Arab pada masa itu. Sehabis perang badar, banyak orang-orang Quraisy yang
menjadi tawanan perang dan diantara mereka banyak yang pandai tulis menulis.
Rasulullah mengeluarkan kebijaksanaan terhadap syarat-syarat pembebasan mereka,
yaitu bagi mereka yang pandai membaca dan menulis diwajibkan mengajar sepuluh
orang muslim dalam membaca dam menulis, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu
lama banyak dikalangan kaum muslimin yang pandai membaca dan menulis.[4]
Tulisan Arab mula-mula diciptakan oleh
orang-orang Yaman. Huruf ini sudah dipakai oleh orang-orang semenjak Himyar
memerintah di sana. Tatkala al-Munzir mendirikan kerajaan di Hira setelah
diajarkan dan dipelajari orang. Bangsa Arab yang mendiami daerah Hijaz baru
pertama kali mengenal huruf kira-kira satu Abad sebelum lahurnya Islam. Hal ini
disebabkan karena mereka hidup dalam pengembaraan dan selalu terjadi pemusuhan.
Pengembaraan bangsa Hijaz ke luar
daerahnya, seperti Irak atau Syam membuka pintu bagi mereka untuk mengenal
huruf. Diantara pengembara-pengembara pertama, yang telah mempelajari huruf dan
tulisan itu diantaranya adalah Bisyr bin Abd al-Malik al-Kindiy. Kemudian Ibnu
Harb yang menikah dengan salah seorang suku Quraisy dari kabilah muawiyyah,
kemudia dialah yang mengajar orang-orang di Hijaz untuk menulis.
Demikianlah ketika Islam datang di tanah
Hijaz ada dua tulisan yang berkembang yaitu tulisan Naskhi yang berasal dari
tulisan Suryaniy. Di antara dua bentuk tulisan tersebut rupanya tulisan yang
kedua yaitu Kufiy yang paling dominan di kalangan bangsa Quraisy pada saat itu.
Sebagaimana diketahui bahwa pada masa turunnya
al-Qur’an Rasulullah mengangkat sekertaris untuk menulis al-Qur’an seperti Ali
bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abu Sufyan, dan Zaid bin Tsabit. Disamping itu sahabat pun menulis al-Qur’an
yang turun atas kemauan sendiri tanpa perintah nabi. Dari sini dapat di pahami
bahwa sejak masa turunnya al-Qur’an sudah dilakukan penulisan yang dipelopori
oleh para penulis Nabi.
Pada masa Abu Bakar, terjadi beberarapa
pertempuran yang menyebabkan banyak diantara penghafal al-Qur’an yang gugur,
maka diadakanlah pengumpulan sekaligus penulisan al-Qur’an dalam satu mushab. Maka dibentuklah panitia. Adapun cara
penulisannya ditentukan oleh Utsman bin Affan sendiri. Utsman mengatakan pada
panitia “jika kalian berselisi pendapat dengan Zaid bin Tsabit mengenai
penulisan lafaz al-Qur’an, maka tulislah menurut logat Quraisy karena al-Qur’an
diturunkan dalam logat Quraisy”. Ketika mereka berselisih pendapat dalam
penulisan tabut, Zaid mengatakan tabuh, kemudian mereka mengajukan hal itu
kepada khalifah Utsaman, kemudian beliau mengatakan tulislah tabuh karena al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Quraisy.
Pada perkembangan selanjutnya terjadi kembali
problema dalam pembacaan al-Qur’an. Seperti dikemukakan pada pembahasan
terdahulu bahwa mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal,
karena semata-mata didasarkan kepada watak pembawaan orang-orang Arab yang murni, sehingga tidak memerlukan tanda baca.
Ketiadaan tanda baca itu menyebabkan adanya peluang terjadinya kekeliruan dalam
membaca al-Qur’an. Hal tersebut bisa membaca konsekuensi yang fatal.
Ketika wilayah Islam sudah menjangkau banyak daerah non Arab, seperti Turki, India,
Persia, Afrika dan daerah Timur jauh, kesulitan berkenaan dengan mushaf tanpa
tanda-tanda baca semakin terasa. Abu al-Aswad al-Du’ali membuatkan tanda-tanda
baca atas perintah Ali bin Ali Thalib untuk menghindari kesalaan dalam bacaan
al-Qur’an bagi generasi yang tidak baca al-Qur’an. Inisiatif ini muncul ketika
seorang ’ajam membaca Qs at-taubah (9):3 yaitu dengan memberi tanda
kasrah pada huruf lam. Pada kata warasuluhu menjadi warasulihi seperti ayat
berikut:
إنّ اللّه برئ من المشركين و رسولِه
“sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasul-Nya”
Seharusnya
ia membaca :
إنّ اللّه برئ من المشركين و رسولُهُ
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya melepas diri dari orang-orang musyrik”.
Lalu Abu Al-Aswad terkejut mendengar bacaan
itu karena perbedaan bacaan bisa menimbulkan perbedaan makna yang besar.
Al-Dualipun dengan tekun memberikan
tanda baca kedalam Al-Qur’an dengan memberi baris atas (fathah) berupa sebuah
titik di atas huruf, sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah
(kasrah), tanda dhammah berupa wawu kecil di antara dua huruf dan tanpa tanda
apa-apa pada huruf konsonan mati.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan.
Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan (685-705 M.) memerintahkan
al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an. Ia
mendelegasikan tugas itu kepada Nasr ibn Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, keduanya
adalah murid Al-Duali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumah
huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya.
Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh al-khalil.
Perubahan itu ialah fathah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa
anda sempang di bawah huruft, dhammah dengan wawu kecil di atas huruf dan
tanwin dengan tambahan tanda serupa. Usaha perbaikan ini terus dilanjutkan oleh
ulama berikutnya. Perkembangan Penulisan Mushaf
Setelah Ustman Ra.
Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab), Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani
generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa
titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab)
yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-.
Langkah ini sengaja ditempuh oleh
Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat
mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam. Namun Islam semakin lama wilayahnya semakin luas,
akhirnya banyak orang-orang non Arab yang masuk Islam dan juga meningkatnya
interaksi muslim Arab dengan non Arab.
Akibatnya, al-‘Ujmah (kekeliruan dalam
menentukan jenis huruf) dan al-Lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf)
menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum
muslimin non Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri. Hal ini
kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim.
Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak
didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Saat Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur
Bashrah, Irak, yaitu pada masa kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M),
riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia
memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali untuk segera membuat tanda baca, terutama
untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak
hafal al-Qur’an.
Pemberian Titik Pada Huruf (Nuqath al-I’jam), Dalam beberapa periode berikutnya. Pada masa Abdul Malik
bin Marwan, beliau memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan
tanda-tanda huruf al-Qur’an . Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashid ibn
‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, dua orang murid ad-Dawali. Kedua orang inilah yang
membubuhi titik di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antar satu
dengan lainnya. Pemberian tanda titik pada huruf ini memang
dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini
bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan
yang sama, namun pengucapannya berbeda. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama,
huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya
adalah untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada.
C. Pola Penulisan
Rasm Utsmaniy
Mushaf Utsmani ditulis menurut
kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan tulisan imla’. Para ulama
merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam istilah :[5]
1.
Kaidah Buang ( Al-hazf )
a. Menghilangkan huruf Alif :
a) Ya nida : يآيها الناس
menurut kaidah imla’ : يا ايها الناس
b) Ha tanbih : هأنتم
menurut kaidah imla’ : ها أنتم
c) Dhomir na : أنجينكم menurut kaidah imla’: أنجيناكم
d) Dan lain-lain
b. Membuang huruf Ya’ : huruf ya’ dibuang dari setiap manqushah munawwan,
baik berbaris rafa’ maupun jar’ misalnya, باغٍ asalnya باغي , داعٍ asalnya داعي, dan lain-lain.
c. Membuang huruf Waw : huruf ini dibuang apablia bergandengan dengan waw
juga seperti, لايستون
asalnya لايستوون
dan فأوا
asalnya فأووا
.
d. Membuang huruf Lam : huruf ini dibuang apabila dalam keadaan idgham
seperti, اليل
asalnya الليل
dan الذي
asalnya اللذي
.
Selain membuang huruf dalam kaidah yang
telah disebutkan terdapat pula penghilangan huruf secara khusus. Seperti : ملك asalnya مالك dan penghilangan waw pada
fi’il, yaitu, يدع الإنسان
asalnya يدعو
.
2.
Kaidah Penambahan ( Az-ziyadah )
a. Penambahan huruf Alif, misalnya, ملاقوربهم dan أولو الألباب
تالله تفتؤا asalnya تالله تفتأ
b. Penambahan huruf Ya’, misalnya من ورائ حساب, من تلقائ نفسي
c. Penambahan huruf waw’ misalnya, أولو, أولئك, أولاء, dan أولات.
3.
Kaidah Hamzah
Apabila hamzah berharokat sukun maka
ditulis dengan huruf yang sebelumnya seperti, ائذن kecuali pada beberapa keadaan
adapun hamzah yang berharokat, maka jika ia berada diawal kata dan bersambung
dengan hamzah tersebut huruf tambahan, mutlak harus ditulis dengan alif dan
keadaan berharakat fathah atau kasrah seperti, ايوب, اولو, سأصرف, فباي kecuali beberapa beberapa kata yang
dikecualikan, adapun bila hamzah terletak ditengah, maka ditulis sesuai dengan
huruf harakatnya, kalau fathah dengan alifg kalau kasrah dengan ya, dan kalau
dhammah dengan waw, seperti, تقرؤه,
سئل
, dan سأل tetapi, apabila huruf
sebelumnya hamzah itu suskun maka tidak ada tambahan, seperti, ملء dan الخبء.
4.
Kaidah Penggantian ( Al-badal )
a. Huruf alif ditulis dengan huruf waw misalnya, الصلاة، الزكوة، الحيوة kecuali pada kata yang
dikecualikan.
b. Huruf alif ditulis dengan huruf ya’ misalnya, أنى ، على، إلى kemudian بلى، لدى، متى.
c. Huruf alif diganti dengan nun taukid khafifah pada kata إذن
d. Huruf ta’ marbuthoh ditulis dengan ta’ maftuhah رحمتُ hal ini terdapat dalam surah
Al-baqarah, Al-a’raf, hud, Maryam, Ar-rum, dan Az-zukhruf. Kemudian ditulis
dengan
نعمتَ yang terdapat dalam surah Al-baqarah, Al-Imran,
Al-maidah, Ibrahim, An-nahl, Luqman, Fatir, dan At-thur, demikian juga dengan
kata معصيت الله dan لعنت الله yang terdapat dalam surah
Al-mujadilah.
5.
Kaidah Sambung dan Pisah ( washl dan
fashl )
a. Bila أن
bertemu لا
menjadi ألّا.
b. Bila من
bertemu ماmenjadi ممّا.
c. أيحسب الإنسان ألن نجمع عظامه
d. بل ز عمتم ألن نجعل لكم موعدا
e. و إنّ ما يدعون من دونه الباطل
6.
Ayat-ayat yang mempunyai dua qira’at yang berbeda, misalnya
:
ملك يوم الدين
Terdapat beberapa pengecualian atau inkonsistensi di dalam rasm Utsmani,
misalnya huruf alif yang
penulisannya diganti dengan huruf waw. Pola penulisan tersebut berbeda
dengan penulisan ayat-ayat berikut :
و ما كان صلاتهم عند البيت إلّا مكاء و تصدية
قل إنّ صلاتي و نسكي و محياي و مماتي لله ربّ
العلمين
D. Pendapat Ulama
Tentang Rasm ‘Utsmaniy
Menanggapi rasm Utsmaniy yang sudah menjadi
standar dalam penulisan Al-Qur’an, para ulama sesudahnya terbagi dalam tiga
kelompok pendapa yang berbeda :[6]
1.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmaniy adalah
bersifat tauqifiy yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Metode
penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah ﷺ.
Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Muawiyyah bin Abi Sufyan
(salah seorang penulis wahyu). “Ambillah tinta, tulislah huruf-huruf dengan
qalam, rentangkan huruf ba’, bedakan huruf sin, janganlah merapatkan huruf mim,
tulislah lafal Allah yang baik, panjangkan lafal Al-Rahman dan tulislah lafal
Al-Rahim yang indah, kemudian letakkan qalammu pada telinga kiri ia akan
mengingatkanmu.
Aziz al-Dabbg menyatakan, para sahabat dan orang lain
tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Al-Qur’an. Karena
penulisan Al-Qur’an adalah tauqifiy. Dialah yang memerintahkan kepada
para penulisnya untuk menulisnya dalam bentuk yang dikenal sekarang dengan
menambahkan alif atau menguranginya karena ada
rahasia-rahasia yang tidak dijangkau oleh akal.
2.
Ulama yang lain berpendapat bahwa Rasm Utsmaniy bukanlah
sesuatu yang tauqifiy sifatnya dari Nabi, akan tetapi merupakan sau cara
penulisan yang disetujui oleh Khalifah Utsman dan diterima oleh para sahabat
waktu itu sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib diikuti dan menjadi
pegangan yang tidak boleh dilanggar. Imam Ahmad sendiri menegaskan keharaman
menulis Al-Qur’an dengan cara menyalahi tulisan huruf alif, ya, waw’
ataupun lainnya.
3.
Sementara golongan yang ketiga berpendapat bahwa Rasm
Utsmaniy hanyalah sebuah istilah, tata cara, dan bukan tauqifiy dari
Nabi ﷺ. Tidak ada salahnya bila menyalahinya
telah mempergunakan satu Rasm tertentu untuk imlak dan Rasm itu tersebar luas
di antara mereka. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Bakar al-Baqillani. Tidak
ada nash yang jelas yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an harus ditulis dengan rasm
tertentu, bahkan Rasulullah menunjukkan diperbolehkannya menulis Al-Qur’an
dengan rasm yang paling mudah. Rasulullah memerintahkan menulis Al-Qur’an,
tanpa menjelaskan bentuk tulisan tertentu, beliau tidak melarang siapapun
menulis Al-Qur’an, karena itu bentuk tulisan mushaf berbeda-beda, ada yang
menulis menurut makhraj lafalnya, ada yang menambah atau mengurangi
huruf, karena dia tahu bahwa yang ditambah atau yang dikurangi huruf hanyalah
peristilahan belaka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Secara istilah, pengertian rasm adalah tulisan dalam bentuk
kalimat dengan huruf hijaiyah yang mempunyai tanda tempat berhenti, sehingga
rasm Al-Qur’an dapat dipahami secara sederhana yaitu tulisan Al-Qur’an dengan
huruf-huruf Arab.
2.
Ketika wilaya Islam sudah menjangkau banyak daerah non
Arab, seperti Turki, India, Persia, Afrika dan daerah Timur jauh, kesulitan
berkenaan dengan mushaf tanpa tanda-tanda baca semakin terasa. Abu al-Aswad
al-Du’ali membuatkan tanda-tanda baca atas perintah Ali bin Ali Thalib untuk
menghindari kesalaan dalam bacaan al-Qur’an bagi generasi yang tidak baca
al-Qur’an. Inisiatif ini muncul ketika seorang ’ajam membaca Qs at-taubah
(9):3 yaitu dengan memberi tanda kasrah pada huruf lam. Pada kata
warasuluhu menjadi warasulihi seperti ayat berikut:
إنّ اللّه برئ من المشركين و رسولِهِ
“sesungguhnya Allah berlepas diri dari
orang-orang musyrik dan rasul-Nya”
Seharusnya ia membaca :
إن اللّه برئ من المشركين و رسولُهِ
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya melepas diri dari orang-orang musyrik”.
Lalu Abu Al-Aswad terkejut mendengar bacaan itu karena
perbedaan bacaan bisa menimbulkan perbedaan makna yang besar. Al-Dualipun dengan tekun memberikan tanda baca kedalam
Al-Qur’an dengan memberi baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf,
sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda dhammah
berupa wawu kecil di antara dua huruf dan tanpa tanda apa-apa pada huruf
konsonan mati.
3.
Para ulama merumuskan kaidah-kaidah tersebut menjadi enam
istilah : Kaidah Buang ( Al-hazf ), Kaidah Penambahan ( Az-ziyadah ),
Kaidah Hamzah, Kaidah Penggantian ( Al-badal ), Kaidah Sambung dan Pisah
( washl dan fashl ), dan Ayat-ayat yang mempunyai dua qira’at yang
berbeda.
4.
Para ulama sesudahnya terbagi dalam tiga kelompok pendapat
yang berbeda : pertama, Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmaniy
adalah bersifat tauqifiy yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, kedua,
Ulama yang lain berpendapat bahwa Rasm Utsmaniy bukanlah sesuatu yang tauqifiy
sifatnya dari Nabi, akan tetapi merupakan sau cara penulisan yang disetujui
oleh Khalifah Utsman dan diterima oleh para sahabat waktu itu, ketiga, Sementara
golongan yang ketiga berpendapat bahwa Rasm Utsmaniy hanyalah sebuah istilah,
tata cara, dan bukan tauqifiy dari Nabi ﷺ.
B.
Saran dan Kritik
Penulis
menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, olehnya itu kami
membutuhkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca
khususnya dosen pembimbing. Terima Kasih.
[1] Kamus Al-Munawwir, 1984
[2]
Amri, Dkk, Ulumul Qur’an,(Makassar: Membumi Phublising, 2009) hlm.1-3
[3]
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an,(Bandung: PT. Remaja Pesda Karya, 2016)
h.94
[4]
Fatira Wahidah, Buku Ajar ‘Ulum Al-Qur’an,(Kendari:CV Shandra,2010 )
hlm.27-33
[5] Ramli Abdul Wahid, ‘ulum Al-Qur’an,( Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002) h. 31-37
[6] Fatira Wahidah, h.34-35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar