QIRAAT AL-QURAN

 

QIRAAT AL-QURAN

Mata Kuliah Ulumul Quran

 

 

 

 

Disusun Oleh :

LM Akrammullah Nasiru                    (17010102062)

Miyarti                                                 (17010102051)

 

 

 

 

 

 

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI

2019


KATA PENGANTAR

            Segala puja, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat serta karunianya sehingga kita selalu dalam keadaan sehat wal ‘afiyat. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah diturunkan Al-Quran kepadanya melalui malaikat Jibril sehingga dengannya menjadi petunjuk kehidupan manusia.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada Program Studi Pendidikan Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, kami mengajukan makalah ini sebagai tugas terstruktur dengan judul “Qiraat Al-Quran”

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya yang belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.

Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi menambah ilmu dan motivasi kami dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.

 

 

 

 

 

Penyusun,

 

 

 



DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I       PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A.    Latar Belakang ......................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah .................................................................... 2

C.     Tujuan penulisan ...................................................................... 2

BAB II       PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A.    Pengertian Qiraat Al-Quran ........................................................... 3

B.     Latar belakang timbulnya perbedaan ............................................. 5

C.     Macam-macam Qiraat Al-Quran .................................................... 9

D.    Tokoh-tokoh Qiraat Sab’ah ........................................................... 11

E.     Contoh Perbedaan Qiraat .............................................................. 12

F.      Pengaruh Perbedaan Qiraat dalam Istinbath Hukum ..................... 14

BAB III    PENUTUP ......................................................................................... 16

A.    Kesimpulan .................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 17

 

 

 

 


 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

             Qiraat Al-Quran merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulumul Quran, setelah kita mengetahui cabang-cabang ilmu dalam ‘Ulumul Quran, maka pentinglah kita sebagai akademisi dalam bidang keislaman mengetahui Qira’at Al-Quran, meski cabang ini tidak memiliki peminat dan dipandang tidak terlalupenting untuk dipelajari. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Mengenai pandangan-pandangan yang menganggap mempelajari cabang ilmu ini adalah karena Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.

            Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.

Terlepas dari itu semua, untuk tambahan pengetahuan kita sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab dan nantinya akan langsung  bertemu dengan berbagai macam hal dalam kehidupan yang berkaitan dengan Pendidikan Islam dan Bahasa Arab yang secara tidak langsung juga mempelajari Al-Quran dan berbagai Ilmu yang terkandung didalamnya. Terkadang di lapangan nantinya akan ditemua berbagai macam bacaan Al-Quran yang berbeda-beda sehingga penting sekali kita mengetahui Ilmu Qira’at Al-Quran ini sebagai bekal untuk tidak menghukumi kesalahan baca Al-Quran karena kurangnya pengetahuin kita tentang itu.

 

B.     Rumusan Masalah

1.             Menjelaskan tentang pengertian qiraat al-quran

2.             Menjelaskan latar belakang timbulnya perbedaan

3.             Menjelaskan macam-macam Qira’at

4.             Menjelaskan pengaruhnya dalam istinbat hukumnya

 

C.    Tujuan Penulisan

            Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah:

1.           Agar memahami pengertian Qira’at Al-Quran

2.           Agar mengetahui latar belakang terjadi peredaan

3.           Agar mengetahui macam-macam Qirat Al-Quran

4.           Juga agar mengetahui pengaruhnya dalam istinbat hukumnya

 

 


 


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qiraat Al-Quran

             Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.

               Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan beberapa pengertian qira’at menurut istilah.

1.      Menurut A-Zarqani

مَذْهَبٌ يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَآءٌ  كَانَتْ هِذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِىنُطْقٍ هَيْئَتِهَا.

“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat  yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaan”.

2.      Menurut Ibnu Al-Jazari

عِلْمٌ بِكَيْفِيَاتِ أَدَاءِ كَلِمَاتِ الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَفِهَا بِعَزْوِ النَّافِلَةِ

“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengisbatkan kepada penukilnya.”[1]

            Menurut dia, Al-Muqari’ adalah seorang yang mengetahui qiraah-qiraah dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab Al-Taisir (kitab  qiraahh) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’) isinya selama orang selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsal). Sebab, dalam masalah qiraah banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan. Al-Qori’ Al-Mubtadi’ (qari’ pemula) adalah orang yang melakukan personifikasi qiraah hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga qiraah. Al-Muntabi (qari tingkat akhir) ialah orang yang mentransfer kebanyakan qiraah atau qiraah-qiraah yang paling masyhur.[2]

               Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur qiraat yang dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:[3]

1.      Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam lainnya.

2.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan ijtihadi.

3.      Ruang lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan Lughat, Hadzaf, I’rab, Itsbat, Fastil, dan Washl.

             Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut:

             Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.

Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘an Nafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.

             Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

B.     Latar Belakang Timbulnya Perbedaan

1.           Latar Belakang Historis

Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu: Suatu ketika Umar bin Khattab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya:“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”

Perbedaan cara membaca al-Quran atau dengan istilah qira’at al-Quran bukan tanpa sebab. Qira’at al-Quran muncul dengan sebab situasi dan kondisi tertentu. Dari beberapa riwayat dan naskah sejarah, kronologi sebab munculnya istilah qira’at, dimulai pada masa khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra. Mushaf al-Qur’an itu disalin dan dibuat banyak serta dikirim ke daerah-daerah Islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas dan menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan al-Qur’an. Hal itu diupayakan oleh khalifah Utsman, karena pada waktu itu ada perselisihan sesama kaum muslim di daerah Azzerbeijan mengenai bacaan al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama umat Islam, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan al-Qur’an, karena nabi mengajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing.[4] Akan tetapi mereka tidak memahami maksud nabi yang begitu, lalu tiap-tiap suku atau gologan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang paling benar sedangkan bacaan yang lain salah.

Di samping itu, dengan naskah yang ditulis sengaja tidak diberikan titik dan harokat. Sehingga kalimat-kalimatnya bisa menampung lebih dari satu qiroat yang berbeda. Yang dijadikan pengambilan al-Qur’an pada saat itu sampai sekarang adalah periwayatan dan talaqqi dari orang-orang yang tsiqah dan dipercaya. Talaqqi dan riwayat inilah yang menjadi kunci utama dalam membaca al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para shahabat.

Ketika Utsman bin Affan mengirimkan mushaf-mushaf ke beberapa pelosok wilayah yang dikuasai Islam, pasca penaklukan di masa Abu Bakar dan Umar, Utsman menyertakan ahli-ahli qira’at sesuai qira’at dalam mushaf itu, qira’at mereka berbeda karena mereka mengambil al-Quran dari sahabat yang berbeda. Para sahabat sendiri mengambil al-Quran dengan qira’at yang berbeda pula.[5] Dan ketika mereka telah menyebar diberbagai Negara dengan qira’at mereka yang berbeda-beda, para tabi’in dan pengikut mereka meriwayatkan dari mereka. Karena itulah pengambilan para tabi’in berbeda dalam meriwayatkannya. Demikianlah seterusnya hingga muncul para imam qira’at. Para imam qira’at ini mengkhususkan diri dalam qira’at-qira’at tertentu kemudian mengajarkan dan menyebarkannya.

Menurut Subhi As-Shalih, qira’at tujuh baru populer menjadi istilah pada permulaan abad ke dua hijriah, ketika menyebarnya umat Islam ke kota- kota besar. Mereka membaca al-Quran menurut bacaan masing-masing imam mereka yang tentu saja terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain. Di Mekah, orang membaca al-Quran menurut qira’at yang diajarkan oleh Abdullah Ibn Katsir al Dariy (w.120 H), di Madinah terkenal dengan qira’at Nafi Ibn Nu’aim (w.169 H), di Syam tekenal dengan qira’at Abdullah al-Yashabi yang

 

terkenal dengan nama ibn Amir (w.118 H), di Basrah orang- orang memakai qira’at Abu Amr (w.154 H) dan qira’at Yaqub (w.205 H) dan di Kufah orang-orang memakai qira’at Hamzah (w.156 H) dan qira’at Ashim (w.127 H). Mereka inilah yang dikenal sebagai imam qira’at tujuh.

Qira’at yang diajukan oleh para imam tersebut, bukanlah hasil pikiran mereka sendiri, melainkan terima dari guru mereka masing-masing yang tentu saja masih tali bertali dengan guru-guru sebelumnya. Dengan kata lain, mereka menetapkan qira’at itu dengan jalan manqul(melalui riwayat), bukan dengan ijtihad dan itu pun harus diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Nabi.

Di antara para sahabat yang terkenal sebagai qurra’(ahli qira’at) ialah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, abu Musa al-Asyari dan lain-lain. Dari merekalah umumnya para sahabat dan tabi’in diberbagai Negara belajar dan meriwayatkan al-Quran yang disanadkan kepada Rasulullah saw hingga datangnya masa tabi’in pada masa selanjutnya, kemudian timbul suatu kaum yang mengspesialisasikan dirinya dalam belajar dan membacanya bahkan akhirnya menjadi suatu ilmu.

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas. Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat yang disaksikan Hudzaikah Al-Yamamah yang kemudian dilaporkan kepada Utsman.

Diantara ulama-ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai penyimpangan adalah:

1.      Abu Amr’ Utsman bin Said bin Utsman bin Said Ad-Dani (w.444 H) dari Daniyyah Andalusia, Spanyol dalam karyanya yang berjudul At-Tafsir.

2.      Abu Al-Abbas bin Imarah bin Abu Al-Abbas Al-Mahdawi (w.430 H) dalam karyanya yang berjudulKitab Al-Hudayah.

3.      Abu Al-Hasan Thahir Thayyib bin Abi Ghalabun Al-Halabi (w.399 H).

4.      Abu Muhammad Makki bin Thalib Al-Qairawani (w.437 H) di Cordova dalam karyanya yang berjudul At-Tabshirah.

5.      Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam karyanya yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.

 

2.      Penyebab Perbedaan Qira’at

Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah:     

1.      Perbedaan qiraat Nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat.[6]

2.      Masuknya Qabilah-qabilah dalam Islam sehingga muncul lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.[7] Dengan adanya hal ini turun izin membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf. Beberapa riwayat menyebutkan bentuk perbedaan bacaan yang diperbolehkan, misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah (dengan salah satu diantaranya) dan tidak ada dosa. Tapi jangan kalian akhiri ayat rahmat dengan ayat adzab atau ayat adzab dengan ayat rahmat”.[8]

3.      Taqrir Nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin”. [9]

4.      Adanya riwayat dari para sahabat tentang berbagai versi qiraat yang ada.[10]

5.      Adanya mushaf pribadi milik para sahabat yang sebagian di antaranya memberikan penafsiran. Akan tetapi timbul asumsi dari orang-orang yang mempelajarinya yang menganggap bahwa penafsiran tersebut merupkan bagian dari al-Qur’an. [11] Misalnya terdapat qiraat mudraj dari penafsiran Ibnu Abbas:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ ﴿ ١٩٨﴾

C.     Macam-Macam Qiraat

Macam-macam tingkatan qiraat menurut Ibnu Al-Jaziri sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i itu ada enam macam, yaitu sebagai berikut:

1.      المُتَوَاتِرْ adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayatan yang banyak dari periwayatan yang banyak pula sehingga mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Qiraat yang tergolong mutawatir, yaitu qiraat sab’ah. Qiraah mutawatir ini adalah qiraat yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an dan dapat dijadikan hujjah.

2.      المَشْهُوْر adalah qiraat yang sanad-nya sahih yang diriwayatkan oleh orang banyak, akan tetapi tidak sampai tingkatan mutawatir. Disamping itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm utsmani. Qiraat ini dinisbatkan kepada 3 Imam terkenal yaitu: Abu Ja’far ibn Qa’qa al-Madani, Ya’qub al-Hadrami, Khalaf al-Bazzar.

3.      الآحَادْ adalah qiraat yang tidak mencapai derajat masyhur, sanad-nya sahih, akan tetapi menyalahi rasm utsmani atau pun kaidah bahasa Arab. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW, membaca ayat:

مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ

Lafadz رَفَارَفٍ dan عَبَاقَرِيٍّ pada qiraat mutawatir dibaca رَفْرَفٍ dan عَبْقَرِيٍّ.

4.      الشَاذْ (menyimpang) adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat ibnu Al-Sumaifi’:

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ اَيَةً

 Lafadz نُنَجِّيْكَ itu dibaca dengan ha’ bukan dengan jim. Qiraat ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.

5.      المَوْضُوْع (palsu) yaitu qiraat yang hanya dinisbatkan kepada orang seseorang tanpa asal usul yang pati atau tidak sama sekali. Misalnya qiraat yang dikumpulkan oleh Muhammad Jafar Al-Khuza’i dan ia mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah yang berbunyi:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَآءَ

Pada ayat diatas sebenarnya pada lafadz الله itu berharakat fathah dan الْعُلَمَآء itu berharakat dhommah. Lafad الْعُلَمَآء itu seharusnya menjadi fa’il (subjek) bukan maf’ul (obyek).[12]

Menurut Imam As-Suyuthi yang dikutip oleh Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, beliau menambahkan satu macam qiraat yaitu:

6.      المُدْرَجْ adalah adanya sispan pada bacaan yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat. Contoh qiraat Abi Waqqash yaitu:

وَاِنْ كاَنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلاَلَةً اَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ مِنْ أُمٍّ (النساء/4: 12)

Tambahan kalimat مِنْ أُمٍّ sebagai penjelasan terhadap ayat tersebut.[13]

Jadi penjelasan diatas menjelaskan macam-macam tingkatan qiraat berdasarkan jumlah sanad dalam periwayatan qiraat dari Nabi SAW.

D.    Tokoh-tokoh Qiraat Sab’ah

Nama-nama tujuh imam qiraat dan dikenal dua orang perawinya, yaitu sebagai berikut:

1.      Imam Ibnu Amir di Damaskus (Syam)

Nama lengkapnya: Abdullah bin Amir al-Yahshabi (8-118 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Mughirah bin Abi Syihab (dari Utsman bin Affan) dan Abu al-Darda’.

2.      Imam Katsir di Makkah

Nama lengkapnya: Abu Muhammad Abdullah bin Katsir (45-120 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abdullah ibn al-Sa’ib (dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khattab), Mujahid ibn Jabar dan Dirbas (dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit).

3.      Imam Ashim di Kufah

Nama lengkapnya: Abu Bakar Ashim bin Abi Najud al-Asadi (w. 129 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abu Abd al-Rahman al-Simi (dari Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit).

4.      Imam Abu Amr di Bashrah

Nama lengkapnya: Abu Amir Zabban bin al-Ala’ bin Ammar (68-154 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Hasan al-Bashri dari Abu al-Aliyah dari Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab.

5.      Imam Hamzah di Kufah

Nama lengkap: Hamzah ibn Hubayb ibn al-Ziyyat al-Kufti (80-156 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Ali Sulaiman al- A’masy, Said Ja’far As-Shadiq, Hamran ibn A’yan, Manhal ibn Amr dan lain-lain.

6.      Imam Nafi’ di Madinah

Nama lengkap: Nafi ibn Abd al-Rahman ibn Abi Nu’aym al-Laysi (w. 169 H). Beliau membaca dari Ali ibn Ja’far, Abd al-Rahman ibn Hurmuz Muhammad ibn Muslim al-Zuhri dan lain-lain.

 

7.      Imam Al-Kisa’i di Kufah

Nama lengkapnya: Abu Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 187 H). Beliau membaca dari Hamzah bin Hubaib, Syu’bah, Ismail ibn Ja’far dan lain-lainnya.[14]

Tujuh Imam tersebut itulah yang masyhur, kemudian ahli qiraat tersebut terkenal dengan “Qiraat Sab’ah”, karena masing-masing Imam memang teliti dalam meriwayatkan qiraat yang berasal dari sahabat Nabi SAW.

 

E.     Contoh Perbedaan Qiraat

1.       Contoh perbedaan qiraat sebagai penggabungan dua ketentuan hukum yang berbeda. Seperti firman Allah:

. . . وَلاً تَقْرَبُوْ هُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ . . . .

222.  “...dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci....” (Qs. Al-Baqarah: 222)

Ayat tersebut merupakan larangan larangan bagi seorang suami, dari melakukan hubungan seksual dengan isterinya dalam kedaan haid.

Lafadz يطهرن menurut beberapa Imam ada 2 qiraah, yaitu:

a.       Menurut Imam Nafi’, Imam Abu ‘Amrin, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Amir, Imam ‘Ashim dalam riwayat Imam Hafsh dibaca يَطْهُرْنَ yang berarti “darah mereka berhenti”. Jadi isteri yang haid tidak boleh di-jima’ sampai berenti darah haidnya, meskipun belum mandi jinabah.

b.      Menurut Imam Hamzah, Imam Kisai, Imam ‘Ashim dalam riwayat Abu Bakar dibaca يَطَّهَّرْنَ (yathahharna) yang berarti “darah mereka berhenti dan sudah mandi jinabah”. Jadi isteri yang haid tidah boleh di-jima’­ sampai berhenti darah haidnya dan harus sudah mandi.[15]

Jadi menurut Jumhur Ulama’ Lafadz yang dibaca tasydid  يَطَهَّرْنَ (yathahharna) itu menjelasakan maknanya lafadz yang dibaca takhfif يَطْهُرْنَ (yathhurna).

2.      Contoh perbedaan qiraat sebagai hujjah bagi sementara ulama’ untuk memperkuat pendapatnya mengenai sesuatu masalah hukum. Seperti firman Allah:

. . . اَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا . . .

“. . . atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). . .” (Qs. al-Maidah: 6)

Ayat diatas menjelaskan, bahwa salah satu penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air, yaitu apabila telah menyentuh wanita (لمَسْتُمُ النِّسَاءَ).

Sementara itu Imam Ibn Katsir, Nafi, ‘Ashim, Abu Amr dan Ibnu Amir, membaca (لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ). Sedangkan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, membaca (لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ).

Qiraat (لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ) ada tiga versi pendapat para ulama’ mengenai makna (لَمَسْتُمْ) yaitu bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh. Demikian pula makna (لاَمَسْتُمْ) menurut kebanyakan ulama’.

Sehubung dengan ini, para ulama’ berbeda pendapat mengenai makna (لَامَسْتُمْ) yaitu:

a.       Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid,Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh.

b.      Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuhan kulit (baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk yang lainnya).

Dalam kaitan ini al-Razi berkomentar yang dikutip oleh Hasanuddin, bahwa pendapat terakhir lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiraat (اَوْلمَسْتُمُ النِّسَاءَ), makna hakikinya adalah “menyentuh dengan tangan. Sementara itu, kata al-mulamasat (المَلَامَسَة) dalam qiraat (اَوْلامَسْتُمُ النِّسَاءَ) makna hakikinya adalah “saling menyentuh”, dan bukan bersetubuh.

Dari uraian diatas bahwa perbedaan qiraat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath hukum dimana menurut sebagian ulama’, versi qiraat (اَوْلمَسْتُمُ النِّسَاءَ) sedikit lebih mempertegas pendapat, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan (اَوْلامَسْتُمُ النِّسَاءَ) dalam ayat tersebut adalah al-Lums dalam arti hakikinya yaitu “bersentuhan kulit”. Hal ini karena kata al-lums tidak sepopuler kata al-mulamasat dalam kepemilikan arti “bersetubuh”.[16]

Dalam hal ini batal wudhu orang yang menyentuh atau bersentuhan dengan sengaja anggota tubuh laki-laki dan wanita. Hal ini mengingat arti hakiki dari kata (لَمَسْتُمُ) yaitu “menyentuh” dan arti hakiki dari kata (لَامَسْتُمُ) yaitu “bersentuhan”.

 

F.      Pengaruh Perbedaan Qiraat dalam Istinbath Hukum

Adapun perbedan qiraat Al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbath hukum, yaitu

1.      Mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati dan di-ijma’-kan para ulama’.

2.      Men-tarjih-kan hukum yang di-ikhtilaf-kan oelh para ulama’.

3.       Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.

4.       Menunjukkan adanya dua ketentuan hukum yang berbeda, dalam kondisi yang berbeda pula.

5.       Menjadi hujjah bagi sementara ulama’ untuk memperkuat pendapatnya mengenai sesuatu masalah hukum.

6.       Menjelaskan suatu hukum dalam suatu ayat, yang berbeda dengan makna menurut dhahir-­nya.

7.       Merupakan penjelas terhadap suatu lafadz dalam Al-Quran, yang mungkin sulit untuk dipahami maknanya.[17]

Dibawah ini salah satu contoh dalam mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati dan di-ijma’-kan para ulama’, menyangkut firman Allah berikut.

وَاِنْ كاَنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلاَلَةً اَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُماَ السُّدُسُ

 Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (Qs. Al-Nisa’/4: 12)

Berdasarkan ayat diatas, para ulama’ telah ber-ijma’, bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan (اخ او اخت) dalam ayat tersebut yaitu saudara laki-laki dan perempuan seibu saja.

Ayat diatas diperkuat dengan qiraat yang lain,yaitu:

وَاِنْ كاَنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلاَلَةً اَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ مِنْ أُمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُماَ السُّدُ سُ

Qira’at Syazzat diatas adalah qiraat Said ibn Abi Waqash, terdapat tambahan (من أم) untuk menjelaskan ayat tersebut dan mengukuhkan ketetapan hukum.[18]

Dengan demikian, qiraat Sa’ad ibn Abi Waqash tersebut dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah di-ijma’-kan para ulama’ sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

 


 


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

              Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.

           Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah.

Ada beberapa macam qira’at menurut Ibnu Al-Jaziri sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i itu ada enam macam, yaitu sebagai berikut:

المُتَوَاتِرْ ,المَشْهُوْر, الآحَادْ,الشَاذْ , المَوْضُوْع , المُدْرَجْ

       Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.

Urgensi Mempelajari Qiraat :

1.      Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama

2.      Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama.

                Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Manahil Al-Qur’an fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)., Jilid I

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, (Surabaya: Al-hidayah, 1973)

Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya, Dunia Ilmu, 2008)

Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan Qiroat, ( Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar, 1996)

Abd al-Shabur Syahin, Saat al-Qur’an Butuh Pembelaan, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Erlangga, 2006)

Abd al-Qayyum al-Sindiy, ‘Ulum al-Qur’an (Makkah: Maktabah Imdadiyah, 1241 H)

Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1997)

Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an

Hasanuddin Af, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an

 



[1] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Manahil Al-Qur’an fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)., Jilid I, hlm. 412.

[2] Ibid.

[3] Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, (Surabaya: Al-hidayah, 1973)

 

[4] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya, Dunia Ilmu, 2008), hlm. 331

[5] Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan Qiroat, ( Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar, 1996), hlm. 129

[6] Abd al-Shabur Syahin, Saat al-Qur’an Butuh Pembelaan, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm, 158.

[7] Abd al-Qayyum al-Sindiy, ‘Ulum al-Qur’an (Makkah: Maktabah Imdadiyah, 1241 H), hlm. 31.

[8] Abd al-Shabur Syahin, op. Cit., hlm 154

 

[9]  Abd al-Shabur Syahin, op. Cit., hlm 158

[10]  Abduh Zulfidar Akaha, op. Cit., hlm 129

[11] Abd al-Shabur Syahin, op. Cit., hlm 158

[12]Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 228-230.

[13]Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm. 48.

[14] Hasanuddin Af, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, hlm. 146-149.

[15] Ibid.  hlm. 203.

[16]Ibid., hlm. 206-209.

[17]Ibid., hlm. 247-253.

[18]Ibid., hlm. 248.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Makalah ulumul qur'an

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Memahami al-Qur’an banyak kaitannya dengan variable-variabel yang harus dikuasai, baik kaita...