QIRAAT AL-QURAN
Mata Kuliah Ulumul
Quran
Disusun
Oleh :
LM Akrammullah Nasiru (17010102062)
Miyarti (17010102051)
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Segala
puja, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat
serta karunianya sehingga kita selalu dalam keadaan sehat wal ‘afiyat. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad
SAW yang telah diturunkan Al-Quran kepadanya melalui malaikat Jibril sehingga
dengannya menjadi petunjuk kehidupan manusia.
Dalam rangka melengkapi tugas dari
mata kuliah Ulumul Quran pada Program Studi Pendidikan Bahasa
Arab di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, kami mengajukan makalah ini
sebagai tugas terstruktur dengan judul “Qiraat Al-Quran”
Dalam penulisan makalah ini, kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara
penulisan, maupun isinya yang belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.
Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi menambah ilmu
dan motivasi kami dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
Penyusun,
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR
ISI .........................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang .........................................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
2
C. Tujuan penulisan
...................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN ................................................................................
3
A. Pengertian
Qiraat Al-Quran ........................................................... 3
B. Latar
belakang timbulnya perbedaan ............................................. 5
C. Macam-macam
Qiraat Al-Quran .................................................... 9
D.
Tokoh-tokoh
Qiraat Sab’ah ........................................................... 11
E.
Contoh Perbedaan
Qiraat .............................................................. 12
F.
Pengaruh
Perbedaan Qiraat dalam Istinbath Hukum ..................... 14
BAB
III PENUTUP .........................................................................................
16
A. Kesimpulan
..................................................................................
16
DAFTAR
PUSTAKA .........................................................................................
17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Qiraat Al-Quran merupakan salah satu cabang ilmu dalam
‘Ulumul Quran, setelah kita mengetahui cabang-cabang ilmu dalam ‘Ulumul Quran,
maka pentinglah kita sebagai akademisi dalam bidang keislaman mengetahui
Qira’at Al-Quran, meski cabang ini tidak memiliki peminat dan dipandang tidak
terlalupenting untuk dipelajari. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,
di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan
muamalah manusia sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir
misalnya yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Mengenai
pandangan-pandangan yang menganggap mempelajari cabang ilmu ini adalah karena Qira’at
tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan
halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain
itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus
diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan
al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar
dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini;
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga
merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini.
Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Terlepas dari itu semua, untuk
tambahan pengetahuan kita sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab dan nantinya
akan langsung bertemu dengan berbagai
macam hal dalam kehidupan yang berkaitan dengan Pendidikan Islam dan Bahasa
Arab yang secara tidak langsung juga mempelajari Al-Quran dan berbagai Ilmu
yang terkandung didalamnya. Terkadang di lapangan nantinya akan ditemua
berbagai macam bacaan Al-Quran yang berbeda-beda sehingga penting sekali kita
mengetahui Ilmu Qira’at Al-Quran ini sebagai bekal untuk tidak menghukumi
kesalahan baca Al-Quran karena kurangnya pengetahuin kita tentang itu.
B. Rumusan
Masalah
1.
Menjelaskan tentang pengertian
qiraat al-quran
2.
Menjelaskan latar belakang
timbulnya perbedaan
3.
Menjelaskan macam-macam Qira’at
4.
Menjelaskan pengaruhnya dalam
istinbat hukumnya
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah:
1.
Agar memahami pengertian Qira’at
Al-Quran
2.
Agar mengetahui latar belakang
terjadi peredaan
3.
Agar mengetahui macam-macam Qirat
Al-Quran
4.
Juga agar mengetahui pengaruhnya
dalam istinbat hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qiraat Al-Quran
Menurut bahasa, qira’at (قراءات)
adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة)
yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ),
yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at menurut istilah cukup
beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai
oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan beberapa pengertian
qira’at menurut istilah.
1. Menurut
A-Zarqani
مَذْهَبٌ يَذْهَبُ إِلَيْهِ
إِمَامٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ
بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَآءٌ كَانَتْ
هِذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِىنُطْقٍ هَيْئَتِهَا.
“Suatu madzhab yang dianut oleh
seorang imam qiraat yang berbeda dengan yang lainnya dalam
pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur
daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam
pengucapan keadaan-keadaan”.
2. Menurut
Ibnu Al-Jazari
عِلْمٌ
بِكَيْفِيَاتِ أَدَاءِ كَلِمَاتِ الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَفِهَا بِعَزْوِ
النَّافِلَةِ
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan
kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengisbatkan kepada
penukilnya.”[1]
Menurut
dia, Al-Muqari’ adalah seorang yang mengetahui qiraah-qiraah dan
meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab Al-Taisir
(kitab qiraahh) misalnya, ia
belum dapat meriwayatkan (yuqri’) isinya selama orang selama orang yang
menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya secara lisan
pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsal). Sebab, dalam
masalah qiraah banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui
pendengaran dan penyampaian secara lisan. Al-Qori’ Al-Mubtadi’ (qari’
pemula) adalah orang yang melakukan personifikasi qiraah hingga ia dapat
mempersonifikasikan tiga qiraah. Al-Muntabi (qari tingkat akhir)
ialah orang yang mentransfer kebanyakan qiraah atau qiraah-qiraah yang
paling masyhur.[2]
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya
berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan
Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun
definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di
antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur qiraat yang
dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:[3]
1. Qiraat
berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah
seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam lainnya.
2. Cara
pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung
kepada Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan ijtihadi.
3. Ruang
lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan Lughat, Hadzaf, I’rab,
Itsbat, Fastil, dan Washl.
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang
harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah.
Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat
dan tariqah, sebagai berikut:
Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang
imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’,
qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan
yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh,
sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu
Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘an Nafi’ atau riwayat Warsy
‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang
disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu
al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat
Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati
Warsy min tariq al-Azraq.
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan
1.
Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul
sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin
ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu: Suatu
ketika Umar bin Khattab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca
ini mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan
sabdanya:“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap
mudah dari tujuh huruf itu.”
Perbedaan cara membaca al-Quran
atau dengan istilah qira’at al-Quran bukan tanpa
sebab. Qira’at al-Quran muncul dengan sebab situasi dan kondisi tertentu. Dari
beberapa riwayat dan naskah sejarah, kronologi sebab munculnya istilah qira’at,
dimulai pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Khalifah
Utsman bin Affan ra. Mushaf al-Qur’an itu disalin dan dibuat banyak serta
dikirim ke daerah-daerah Islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas dan
menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan al-Qur’an. Hal itu diupayakan oleh
khalifah Utsman, karena pada waktu itu ada perselisihan sesama kaum muslim di
daerah Azzerbeijan mengenai bacaan al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja
menimbulkan perang saudara sesama umat Islam, sebab mereka berlainan dalam
menerima bacaan al-Qur’an, karena nabi mengajarkan cara bacaan yang relevan
dengan dialek mereka masing-masing.[4] Akan
tetapi mereka tidak memahami maksud nabi yang begitu, lalu tiap-tiap suku atau
gologan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang paling benar sedangkan
bacaan yang lain salah.
Di samping itu, dengan naskah
yang ditulis sengaja tidak diberikan titik dan harokat. Sehingga
kalimat-kalimatnya bisa menampung lebih dari satu qiroat yang berbeda. Yang
dijadikan pengambilan al-Qur’an pada saat itu sampai sekarang adalah
periwayatan dan talaqqi dari orang-orang yang tsiqah dan dipercaya. Talaqqi dan
riwayat inilah yang menjadi kunci utama dalam membaca al-Qur’an secara benar
dan tepat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para shahabat.
Ketika Utsman bin Affan mengirimkan
mushaf-mushaf ke beberapa pelosok wilayah yang dikuasai Islam, pasca penaklukan
di masa Abu Bakar dan Umar, Utsman menyertakan ahli-ahli qira’at sesuai qira’at
dalam mushaf itu, qira’at mereka berbeda karena mereka mengambil al-Quran dari
sahabat yang berbeda. Para sahabat sendiri mengambil al-Quran dengan qira’at
yang berbeda pula.[5]
Dan ketika mereka telah menyebar diberbagai Negara dengan qira’at mereka yang
berbeda-beda, para tabi’in dan pengikut mereka meriwayatkan dari mereka. Karena
itulah pengambilan para tabi’in berbeda dalam meriwayatkannya. Demikianlah
seterusnya hingga muncul para imam qira’at. Para imam qira’at ini mengkhususkan
diri dalam qira’at-qira’at tertentu kemudian mengajarkan dan menyebarkannya.
Menurut Subhi As-Shalih, qira’at
tujuh baru populer menjadi istilah pada permulaan abad ke dua hijriah, ketika
menyebarnya umat Islam ke kota- kota besar. Mereka membaca al-Quran menurut
bacaan masing-masing imam mereka yang tentu saja terdapat perbedaan antara satu
dengan yang lain. Di Mekah, orang membaca al-Quran menurut qira’at yang
diajarkan oleh Abdullah Ibn Katsir al Dariy (w.120 H), di Madinah terkenal
dengan qira’at Nafi Ibn Nu’aim (w.169 H), di Syam tekenal dengan qira’at
Abdullah al-Yashabi yang
terkenal dengan nama ibn Amir
(w.118 H), di Basrah orang- orang memakai qira’at Abu Amr (w.154 H) dan qira’at
Yaqub (w.205 H) dan di Kufah orang-orang memakai qira’at Hamzah (w.156 H) dan
qira’at Ashim (w.127 H). Mereka inilah yang dikenal sebagai imam qira’at tujuh.
Qira’at yang diajukan oleh para
imam tersebut, bukanlah hasil pikiran mereka sendiri, melainkan terima dari
guru mereka masing-masing yang tentu saja masih tali bertali dengan guru-guru
sebelumnya. Dengan kata lain, mereka menetapkan qira’at itu dengan jalan manqul(melalui
riwayat), bukan dengan ijtihad dan itu pun harus diriwayatkan dengan sanad yang
sahih dari Nabi.
Di antara para sahabat yang
terkenal sebagai qurra’(ahli qira’at) ialah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, abu Musa al-Asyari dan lain-lain. Dari merekalah
umumnya para sahabat dan tabi’in diberbagai Negara belajar dan meriwayatkan
al-Quran yang disanadkan kepada Rasulullah saw hingga datangnya masa tabi’in
pada masa selanjutnya, kemudian timbul suatu kaum yang mengspesialisasikan
dirinya dalam belajar dan membacanya bahkan akhirnya menjadi suatu ilmu.
Menurut catatan sejarah,
timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II
H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai
pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti
qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara
turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang
tujuh, sepuluh atau yang empat belas. Timbulnya sebab lain dengan penyebaran
qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang
beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi
akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya
perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat yang disaksikan
Hudzaikah Al-Yamamah yang kemudian dilaporkan kepada Utsman.
Diantara ulama-ulama yang berjasa
meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai penyimpangan adalah:
1. Abu
Amr’ Utsman bin Said bin Utsman bin Said Ad-Dani (w.444 H) dari Daniyyah
Andalusia, Spanyol dalam karyanya yang berjudul At-Tafsir.
2. Abu
Al-Abbas bin Imarah bin Abu Al-Abbas Al-Mahdawi (w.430 H) dalam karyanya yang
berjudulKitab Al-Hudayah.
3. Abu
Al-Hasan Thahir Thayyib bin Abi Ghalabun Al-Halabi (w.399 H).
4. Abu
Muhammad Makki bin Thalib Al-Qairawani (w.437 H) di Cordova dalam karyanya yang
berjudul At-Tabshirah.
5. Abu
Al-Qasim Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam
karyanya yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.
2. Penyebab
Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab munculnya beberapa
qiraat yang berbeda adalah:
1. Perbedaan
qiraat Nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi
memakai beberapa versi qiraat.[6]
2.
Masuknya Qabilah-qabilah dalam
Islam sehingga muncul lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab
pada masa turunnya al-Qur’an.[7] Dengan adanya hal ini turun izin membaca
al-Qur’an dengan tujuh huruf. Beberapa riwayat menyebutkan bentuk perbedaan
bacaan yang diperbolehkan, misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan
tujuh huruf, maka bacalah (dengan salah satu diantaranya) dan tidak ada
dosa. Tapi jangan kalian akhiri ayat rahmat dengan ayat adzab atau ayat
adzab dengan ayat rahmat”.[8]
3.
Taqrir Nabi terhadap berbagai
qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut
dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an.
Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”.
Padahal ia menghendaki “hatta hin”. [9]
4.
Adanya riwayat dari para sahabat tentang
berbagai versi qiraat yang ada.[10]
5. Adanya
mushaf pribadi milik para sahabat yang sebagian di antaranya memberikan
penafsiran. Akan tetapi timbul asumsi dari orang-orang yang mempelajarinya yang
menganggap bahwa penafsiran tersebut merupkan bagian dari al-Qur’an. [11] Misalnya
terdapat qiraat mudraj dari penafsiran Ibnu Abbas:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا
أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ ﴿ ١٩٨﴾
C. Macam-Macam Qiraat
Macam-macam tingkatan qiraat
menurut Ibnu Al-Jaziri sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Syadali dan Ahmad
Rofi’i itu ada enam macam, yaitu sebagai berikut:
1. المُتَوَاتِرْ adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah
periwayatan yang banyak dari periwayatan yang banyak pula sehingga mereka tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Qiraat yang tergolong mutawatir,
yaitu qiraat sab’ah. Qiraah mutawatir ini adalah qiraat
yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an dan dapat dijadikan hujjah.
2. المَشْهُوْر adalah qiraat yang sanad-nya sahih yang
diriwayatkan oleh orang banyak, akan tetapi tidak sampai tingkatan mutawatir.
Disamping itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm utsmani. Qiraat
ini dinisbatkan kepada 3 Imam terkenal yaitu: Abu Ja’far ibn Qa’qa
al-Madani, Ya’qub al-Hadrami, Khalaf al-Bazzar.
3. الآحَادْ adalah qiraat yang tidak mencapai derajat masyhur,
sanad-nya sahih, akan tetapi menyalahi rasm utsmani atau
pun kaidah bahasa Arab. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang
dikeluarkan oleh hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah yang
menyebutkan bahwa Nabi SAW, membaca ayat:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ
حِسَانٍ
Lafadz رَفَارَفٍ dan عَبَاقَرِيٍّ pada qiraat mutawatir dibaca رَفْرَفٍ dan عَبْقَرِيٍّ.
4. الشَاذْ (menyimpang) adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih.
Seperti qiraat ibnu
Al-Sumaifi’:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ اَيَةً
Lafadz نُنَجِّيْكَ itu dibaca dengan ha’ bukan dengan jim. Qiraat ini tidak
dapat dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.
5. المَوْضُوْع (palsu) yaitu qiraat yang hanya dinisbatkan kepada orang
seseorang tanpa asal usul yang pati atau tidak sama sekali. Misalnya qiraat yang dikumpulkan oleh
Muhammad Jafar Al-Khuza’i dan ia mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah yang
berbunyi:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَآءَ
Pada ayat diatas
sebenarnya pada lafadz الله itu berharakat fathah dan الْعُلَمَآء itu
berharakat dhommah. Lafad الْعُلَمَآء itu seharusnya
menjadi fa’il (subjek) bukan maf’ul (obyek).[12]
Menurut Imam As-Suyuthi yang dikutip oleh
Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, beliau
menambahkan satu macam qiraat yaitu:
6. المُدْرَجْ adalah adanya sispan pada bacaan yang berfungsi sebagai tafsir
atau penjelas terhadap suatu ayat. Contoh qiraat Abi Waqqash yaitu:
وَاِنْ
كاَنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلاَلَةً اَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ مِنْ
أُمٍّ (النساء/4: 12)
Tambahan kalimat مِنْ
أُمٍّ sebagai
penjelasan terhadap ayat tersebut.[13]
Jadi penjelasan diatas menjelaskan
macam-macam tingkatan qiraat berdasarkan jumlah sanad dalam
periwayatan qiraat dari Nabi SAW.
D.
Tokoh-tokoh
Qiraat Sab’ah
Nama-nama tujuh imam qiraat dan
dikenal dua orang perawinya, yaitu sebagai berikut:
1. Imam Ibnu Amir di
Damaskus (Syam)
Nama lengkapnya: Abdullah bin Amir
al-Yahshabi (8-118 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Mughirah bin Abi Syihab
(dari Utsman bin Affan) dan Abu al-Darda’.
2. Imam Katsir di Makkah
Nama lengkapnya: Abu Muhammad Abdullah
bin Katsir (45-120 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abdullah ibn al-Sa’ib
(dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khattab), Mujahid ibn Jabar dan Dirbas (dari
Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit).
3. Imam Ashim di Kufah
Nama lengkapnya: Abu Bakar Ashim bin Abi
Najud al-Asadi (w. 129 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abu Abd al-Rahman
al-Simi (dari Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab
dan Zaid bin Tsabit).
4. Imam Abu Amr di Bashrah
Nama lengkapnya: Abu Amir Zabban bin
al-Ala’ bin Ammar (68-154 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Hasan al-Bashri
dari Abu al-Aliyah dari Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab.
5. Imam Hamzah di Kufah
Nama lengkap: Hamzah ibn Hubayb ibn
al-Ziyyat al-Kufti (80-156 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Ali Sulaiman al-
A’masy, Said Ja’far As-Shadiq, Hamran ibn A’yan, Manhal ibn Amr dan lain-lain.
6. Imam Nafi’ di Madinah
Nama lengkap: Nafi ibn Abd al-Rahman ibn
Abi Nu’aym al-Laysi (w. 169 H). Beliau membaca dari Ali ibn Ja’far, Abd
al-Rahman ibn Hurmuz Muhammad ibn Muslim al-Zuhri dan lain-lain.
7. Imam Al-Kisa’i di Kufah
Nama lengkapnya: Abu Hasan Ali bin
Hamzah Al-Kisa’i (w. 187 H). Beliau membaca dari Hamzah bin Hubaib, Syu’bah,
Ismail ibn Ja’far dan lain-lainnya.[14]
Tujuh Imam tersebut itulah yang masyhur,
kemudian ahli qiraat tersebut terkenal dengan “Qiraat Sab’ah”,
karena masing-masing Imam memang teliti dalam meriwayatkan qiraat yang
berasal dari sahabat Nabi SAW.
E.
Contoh Perbedaan
Qiraat
1. Contoh
perbedaan qiraat sebagai penggabungan dua ketentuan hukum yang berbeda.
Seperti firman Allah:
.
. . وَلاً تَقْرَبُوْ
هُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ . . . .
222. “...dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci....” (Qs.
Al-Baqarah: 222)
Ayat tersebut
merupakan larangan larangan bagi seorang suami, dari melakukan hubungan seksual
dengan isterinya dalam kedaan haid.
Lafadz
يطهرن
menurut beberapa Imam ada 2 qiraah,
yaitu:
a.
Menurut Imam
Nafi’, Imam Abu ‘Amrin, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Amir, Imam ‘Ashim dalam
riwayat Imam Hafsh dibaca يَطْهُرْنَ yang berarti “darah mereka berhenti”.
Jadi isteri yang haid tidak boleh di-jima’ sampai berenti darah haidnya,
meskipun belum mandi jinabah.
b.
Menurut Imam
Hamzah, Imam Kisai, Imam ‘Ashim dalam riwayat Abu Bakar dibaca يَطَّهَّرْنَ (yathahharna)
yang berarti “darah mereka berhenti dan sudah mandi jinabah”. Jadi
isteri yang haid tidah boleh di-jima’ sampai berhenti darah haidnya dan
harus sudah mandi.[15]
Jadi menurut Jumhur
Ulama’ Lafadz yang dibaca tasydid يَطَهَّرْنَ (yathahharna)
itu menjelasakan maknanya lafadz yang dibaca takhfif يَطْهُرْنَ (yathhurna).
2. Contoh
perbedaan qiraat sebagai hujjah bagi sementara ulama’ untuk
memperkuat pendapatnya mengenai sesuatu masalah hukum. Seperti firman Allah:
. . . اَوْ لمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا . . .
“. . . atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). . .” (Qs.
al-Maidah: 6)
Ayat diatas
menjelaskan, bahwa salah satu penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum
dan dalam kondisi tidak ada air, yaitu apabila telah menyentuh wanita (لمَسْتُمُ
النِّسَاءَ).
Sementara itu
Imam Ibn Katsir, Nafi, ‘Ashim, Abu Amr dan Ibnu Amir, membaca (لاَمَسْتُمُ
النِّسَاءَ).
Sedangkan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, membaca (لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ).
Qiraat (لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ) ada tiga versi pendapat para ulama’ mengenai makna (لَمَسْتُمْ) yaitu bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta
bersetubuh. Demikian pula makna (لاَمَسْتُمْ) menurut
kebanyakan ulama’.
Sehubung dengan ini, para ulama’ berbeda pendapat
mengenai makna (لَامَسْتُمْ) yaitu:
a. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid,Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
yang dimaksud adalah “bersetubuh”.
b. Ibn Mas’ud, Ibn
Umar,
al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah “bersentuhan kulit” (baik dalam
bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk yang lainnya).
Dalam kaitan ini al-Razi berkomentar yang dikutip oleh Hasanuddin, bahwa pendapat terakhir lebih kuat, karena kata al-lums
dalam qiraat (اَوْلمَسْتُمُ النِّسَاءَ), makna hakikinya adalah
“menyentuh dengan tangan”. Sementara itu,
kata al-mulamasat (المَلَامَسَة) dalam qiraat (اَوْلامَسْتُمُ النِّسَاءَ) makna
hakikinya adalah “saling menyentuh”, dan
bukan bersetubuh.
Dari uraian
diatas bahwa perbedaan qiraat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath
hukum dimana menurut sebagian ulama’, versi qiraat (اَوْلمَسْتُمُ
النِّسَاءَ) sedikit
lebih mempertegas pendapat, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan (اَوْلامَسْتُمُ
النِّسَاءَ) dalam
ayat tersebut adalah al-Lums dalam arti hakikinya yaitu “bersentuhan
kulit”. Hal ini karena kata al-lums tidak sepopuler kata al-mulamasat
dalam kepemilikan arti “bersetubuh”.[16]
Dalam hal ini
batal wudhu orang yang menyentuh atau bersentuhan dengan sengaja anggota tubuh
laki-laki dan wanita. Hal ini mengingat arti hakiki dari kata (لَمَسْتُمُ) yaitu “menyentuh” dan arti hakiki dari kata (لَامَسْتُمُ) yaitu “bersentuhan”.
F.
Pengaruh
Perbedaan Qiraat dalam Istinbath Hukum
Adapun
perbedan qiraat Al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan
berpengaruh terhadap istinbath hukum, yaitu
1. Mengukuhkan
atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati dan di-ijma’-kan
para ulama’.
2. Men-tarjih-kan
hukum yang di-ikhtilaf-kan oelh para ulama’.
3. Menggabungkan
dua ketentuan hukum yang berbeda.
4. Menunjukkan
adanya dua ketentuan hukum yang berbeda, dalam kondisi yang berbeda pula.
5. Menjadi
hujjah bagi sementara ulama’ untuk memperkuat pendapatnya mengenai
sesuatu masalah hukum.
6. Menjelaskan
suatu hukum dalam suatu ayat, yang berbeda dengan makna menurut dhahir-nya.
7. Merupakan
penjelas terhadap suatu lafadz dalam Al-Quran, yang mungkin sulit untuk
dipahami maknanya.[17]
Dibawah
ini salah satu contoh dalam mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang
telah disepakati dan di-ijma’-kan para ulama’, menyangkut firman Allah
berikut.
وَاِنْ
كاَنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلاَلَةً اَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُماَ السُّدُسُ
“Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (Qs. Al-Nisa’/4: 12)
Berdasarkan ayat diatas, para ulama’
telah ber-ijma’, bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan
saudara perempuan (اخ او اخت) dalam
ayat tersebut yaitu saudara laki-laki dan perempuan seibu saja.
Ayat diatas diperkuat dengan qiraat yang
lain,yaitu:
وَاِنْ
كاَنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلاَلَةً اَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ مِنْ
أُمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُماَ السُّدُ سُ
Qira’at
Syazzat diatas
adalah
qiraat
Said ibn Abi Waqash, terdapat tambahan (من
أم) untuk menjelaskan ayat tersebut dan mengukuhkan ketetapan
hukum.[18]
Dengan
demikian, qiraat Sa’ad ibn Abi Waqash tersebut dapat memperkuat dan
mengukuhkan ketetapan hukum yang telah di-ijma’-kan para ulama’
sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa, qira’at (قراءات)
adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة)
yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ),
yang artinya : bacaan.
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus
diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah.
Ada beberapa macam qira’at menurut Ibnu Al-Jaziri sebagaimana yang dikutip oleh
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i itu ada enam macam, yaitu sebagai berikut:
المُتَوَاتِرْ ,المَشْهُوْر, الآحَادْ,الشَاذْ ,
المَوْضُوْع ,
المُدْرَجْ
Qiraat sebenarnya telah
muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan merupakan sebuah
disiplin ilmu. Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai
pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar
di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada
mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Urgensi Mempelajari Qiraat :
1. Menguatkan
ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama
2. Menarjih
hukum yang diperselisihkan para ulama.
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu
menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an
yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi
makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka
perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan
adakalanya tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqani, Muhammad Abd
al-‘Azim, Manahil Al-Qur’an fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002)., Jilid I
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis
Fi Ulumil Qur’an, (Surabaya: Al-hidayah, 1973)
Abdul Jalal, Ulumul
Qur’an, (Surabaya, Dunia Ilmu, 2008)
Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an
dan Qiroat, ( Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar, 1996)
Abd al-Shabur Syahin, Saat
al-Qur’an Butuh Pembelaan, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Erlangga,
2006)
Abd al-Qayyum al-Sindiy, ‘Ulum
al-Qur’an (Makkah: Maktabah Imdadiyah, 1241 H)
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul
Qur’an I, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1997)
Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, Mutiara
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
Hasanuddin Af, Perbedaan Qiraat dan
Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an
[1] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Manahil
Al-Qur’an fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)., Jilid
I, hlm. 412.
[2] Ibid.
[3]
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis
Fi Ulumil Qur’an, (Surabaya: Al-hidayah, 1973)
[4] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya, Dunia
Ilmu, 2008), hlm. 331
[5] Abduh Zulfidar Akaha, al-Qur’an dan
Qiroat, ( Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar, 1996), hlm. 129
[6] Abd al-Shabur Syahin, Saat
al-Qur’an Butuh Pembelaan, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta: Erlangga,
2006), hlm, 158.
[7] Abd al-Qayyum al-Sindiy, ‘Ulum al-Qur’an (Makkah:
Maktabah Imdadiyah, 1241 H), hlm. 31.
[8] Abd al-Shabur Syahin, op. Cit., hlm 154
[9] Abd
al-Shabur Syahin, op. Cit., hlm 158
[10] Abduh
Zulfidar Akaha, op.
Cit., hlm 129
[11] Abd al-Shabur Syahin, op. Cit., hlm 158
[12]Ahmad Syadali
dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1997),
hlm. 228-230.
[13]Muhammad bin Alawi
Al-Maliki Al-Hasni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm.
48.
[14] Hasanuddin
Af, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, hlm.
146-149.
[15] Ibid. hlm. 203.
[16]Ibid., hlm.
206-209.
[17]Ibid., hlm. 247-253.
[18]Ibid., hlm. 248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar