BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menjelang
usia empat puluh tahun, kematangan berpikir
Muhammad mulai tampak, dia
mulai membiasakan diri berkhalwat di
dalam gua Hira di pinggiran kota
Makkah, di tengah kehidupan paganisme
yang ketika itu merajalela
di masyarakat Makkah.Semakin lama ia berkhlawat maka
semakin dirinya
merasa dekat dengan kebenaran akan sesuatu yang lebih
Agung di dalam kesadarannya. Selama berhari-hari
Muhammad tinggal di gua Hira dan
baru pulang
jika bekal yang dibawanya
telah habis. Sebagai istri, Khadijah merasa ingin tahu tentang
apa
yang dilakukan oleh suaminya. Kadang
Khadijah menghimbau agar suaminya tinggal di rumah saja, namun Muhammad tetap saja meneruskan khalwatnya.
Sebelum kedatangan wahyu yang
pertama, Muhammad sering didatangi mimpi yang aneh, dan setiap apa yang terlihat dalam mimpi
Muhammad tersebut selalu terjadi
dalam kenyataan.
Setelah itu
dirinya terdorong
untuk berkhalwat (menyepi atau menyendiri dari segala
kesibukan) di gua
Hira. Di sana ia beribadah selama beberapa
malam,
kemudian baru pulang
ke tengah keluarganya jika perbekalannya habis. Beberapa
riwayat mengatakan mimpi-mimpi itu dialami Muhammad selama
enam bulan sebelum turunnya
wahyu. Beberapa waktu menjelang turunnya wahyu, Muhammad sering
kali mendengar suara “Hai
Muhammad, sesungguhnya
engkau adalah
utusan Allah
Yang Maha besar!” kemudian saat dilihat ternyata yang nampak
seluruh penjuru terlihat
gemerlap cahaya,
hal itu sangat
membuat
Muhammad khawatir, sehingga Muhammad segera pulang menemui istri tercintanya Khadijah di rumah, ia khawatir kalau
itu adalah jin
yang mencoba
mengganggu
dirinya.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana Khalwat
Nabi ﷺ Di Gua Hira ?
- Bagaimana Proses
Penerimaan Wahyu Yang Pertama ?
- Bagaimana Masa
Fatrah, Tidak Ada Wahyu Yang Turun ?
C.
Tujuan
1. Bagaimana Khalwat Nabi ﷺ Di Gua Hira ?
2. Bagaimana Proses Penerimaan Wahyu Yang
Pertama ?
3. Bagaimana Masa Fatrah, Tidak Ada Wahyu
Yang Turun ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Khalwat Nabi Muhammad
ﷺ
Ketika
usia beliau mendekati 40 tahun, beliau telah banyak merenungi keadaan kaumnya
dan menyadari banyak keadaan kaumnya tidak sejalan dengan kebenaran. Beliau pun
mulai sering uzlah (mengasingkan diri) dari kaumnya. Beliau biasa bertahan di
gua Hira yang terletak di Jabal Nur, dengan membawa bekal air dan roti gandum.
Gua Hira merupakan gua kecil yang berukuran lebar 1,75 hasta dan panjang 4
hasta dengan ukuran dzira’ hadid (ukuran hasta dari besi).
Beliau
tinggal di dalam gua tersebut selama bulan Ramadhan. Beliau menghabiskan waktu
untuk beribadah di sana dan banyak merenungi kekuasaan Allah di alam semesta
yang begitu sempurna. Selama perenungan itu juga beliau semakin menyadari
keterpurukan kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik. Namun ketika
itu beliau belum memiliki jalan yang terang dan manhaj yang jelas mengenai
bagaimana jalan yang harus ditempuh.[1]
Ketika
usia beliau genap 40 tahun, tanda-tanda kenabian semakin nampak dan bersinar.
Diantaranya ada sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:[2]
“Sungguh aku mengetahui
sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus
(menjadi Nabi). Dan aku masih mengenalkan sampai sekarang” (HR. Muslim no.
2277).
Kemudian
diantara tanda lainnya adalah mimpi-mimpi beliau semakin jelas, yang disebut
dengan ru’ya ash shalihah atau ru’ya ash shadiqah. Dan ini merupakan salah satu
tanda kenabian. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Mimpi yang benar adalah salah satu dari 46
tanda kenabian” (HR. Muslim no. 2263).
Ibnu
Hajar Al Asqalani mengatakan, “Al Baihaqi mengisahkan bahwa masa ru’ya ash
shalihah berlangsung selama 6 bulan. Berdasarkan hal ini, maka permulaan
kenabian dengan adanya ru’ya ash shalihah terjadi pada bulan kelahiran beliau
yaitu 12 Rabi’ul Awwal, setelah beliau genap 40 tahun. Sedangkan wahyu
dalam kondisi terjaga terjadi pada bulan Ramadhan” (Fathul Bari, 1/27).
B. Menerima Wahyu Pertama
Ketika
uzlah beliau memasuki tahun ketiga, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah Ta’ala menakdirkan
ketika itu turun wahyu pertama kepada beliau dan diangkatnya beliau menjadi
Nabi. Malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa wahyu pertama.
Syaikh
Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, dalam kitab beliau Rahiqul Makhtum, menelaah
waktu turunnya wahyu pertama ini, dan beliau menyimpulkan bahwa peristiwa ini
terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadhan di malam hari, bertepatan dengan 10
Agustus 610M. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam saat itu berusia 40 tahun, 6
bulan, 12 hari menurut kalender hijriyah. Atau sekitar 39 tahun, 3 bulan dan 20
hari menurut kalender masehi. Ayat Pertama Yang Turun Ada 3 pendapat yang
disebutkan para ulama mengenai ayat mana yang pertama kali turun:
Pendapat
pertama: yang pertama kali turun adalah surat Al ‘Alaq ayat 1 – 5. Sebagaimana
keterangan dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau menyebutkan:
“Awal
turunnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dengan ar
ru’ya ash shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Beliau bermimpi
kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin
untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts. Yaitu ibadah di
malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya
untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui
Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua
Hira. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku
tidak bisa baca”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: Maka Malaikat
itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata
lagi: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu
memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi:
“Bacalah!”. Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku
kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu
melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah)” (HR. Bukhari no. 6982, Muslim no. 160).
Pendapat
kedua: yang pertama kali turun adalah surat Al Mudatsir 1 – 3. Berdasarkan
keterangan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu. Dari Abu Salamah bin Abdirrahman
ia mengatakan:[3]
“Aku bertanya kepada Jabir bin Abdillah:
ayat Al Qur’an mana yang pertama kali turun? Jabir menjawab: Yaa ayyuhal
muddatsir. Abu Salamah menukas: bukanlah iqra bismirabbika? Jabir mengatakan:
tidak akan aku kabarkan kecuali apa yang disabdakan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Aku berdiam diri di gua Hira’,
ketika selesai berdiam, aku pun beranjak turun (keluar). Lalu ada yang
menyeruku, aku pun melihat ke sebelah depan dan belakangku dan ke sebelah kanan
dan kiriku. Ternyata, (yang memanggilku) ia duduk di atas Arasy antara langit
dan bumi. Lalu aku bergegas mendatangi Khadijah lalu aku berkata, ‘Selimutilah
aku. Dan tuangkanlah air dingin pada tubuhku’. Lalu turunlah ayat: ‘Yaa ayyuhal
muddatsir, qum fa-anzhir warabbaka fakabbir (Wahai orang yang berselimut,
bangunlah dan berilah peringatakan. Dan Tuhan-mu, agungkanlah)” (HR. Bukhari
no. 4924).
Pendapat
ketiga: yang pertama kali turun adalah surat Al Fatihah. Dalam sebuah riwayat:
“Dari Abu Ishaq dari Abu Maysarah ia
berkata, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendengar suara (gaib)
beliau pun pergi dalam keadaan takut. Kemudian beliau menyebutkan tentang
datangnya Malaikat dan menyampaikan: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin… sampai
akhir surat” (dinukil dari Al Burhan fi Ulumil Qur’an, 207).
Kompromi
dari tiga pendapat ini adalah, bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Al
‘Alaq 1-5 sedangkan yang pertama kali turun berupa perintah untuk tabligh
(menyebarkan Islam) adalah Al Muddatsir 1-3 dan yang pertama kali turun berupa
surat secara sempurna adalah Al Fatihah ( Al Burhan fi Ulumil Qur’an, 207,
karya Badruddin Az Zarkasyi).
Setelah
menerima wahyu di gua Hira, beliau Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kembali ke
rumah Khadijah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ta’ala
‘anha:
“Beliaupun pulang dalam kondisi gemetar dan
bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya:
Selimuti aku, selimuti aku. Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa
takutnya. Kemudian Nabi bertanya: ‘wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku
ini?’. Lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alami kemudian mengatakan,
‘aku amat khawatir terhadap diriku’. Maka Khadijah mengatakan, ‘sekali-kali
janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya.
Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban
orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong
orang yang menegakkan kebenaran. Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi
menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah
telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab
dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang
dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut
dan matanya telah buta.
Khadijah
berkata kepada Waraqah, “wahai paman. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini”.
Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah
dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus
Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh
kaummu”. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab,
“Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali
pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan
menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia”
(HR. Al Bukhari no. 6982).
C.
Masa Fatrah,
Tidak Ada Wahyu Yang Turun
Setelah
wahyu pertama turun, setelah itu wahyu berhenti turun untuk beberapa waktu.
Masa-masa tidak ada wahyu yang turun ini disebut dengan masa fatratul wahyi.
Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan:
“Telah sampai informasi kepada kami bahwa
masa fatrah terjadi begitu lama hingga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersedih hati. Yang ini membuat beliau berulang kali berlari kencang ke atas
bukit untuk melompat. Setiap kali beliau sampai ke atas bukit, malaikat Jibril
menampakkan diri dan berkata: ‘wahai Muhammad, engkau adalah benar-benar
Rasulullah’. Sehingga hati dan jiwa beliau menjadi tenang” (HR. Al Bukhari no.
6982).
Ibnu
Hajar Al Asqalani mengatakan:
“Terdapat riwayat dari Tarikh Ahmad bin
Hambal, dari Asy Sya’bi bahwa rentang waktu fatratul wahyi adalah 3 tahun, ini
pendapat yang dipegang oleh Ibnu Ishaq” (Fathul Baari, 1/27).
Ibnu
Katsir menyebutkan:
“Sebagian ulama mengatakan bahwa rentang waktu
rentang waktu fatratul wahyi adalah 2 tahun atau 2,5 tahun” (Al Bidayah wan
Nihayah, 4/42).
Dan
sebagian ulama juga ada yang berpendapat fatratul wahyi hanya beberapa hari
saja. Lalu setelah berakhir masa fatratul wahyi, turunlah wahyu kedua yaitu
surat Al Mudatsir ayat 1 sampai 3, sebagaimana yang ada dalam hadits Jabir
radhiallahu’anhu di atas. Dengan demikian, beliau diangkat menjadi seorang
Rasulullah. “Beliau diangkat menjadi Nabi dengan “Iqra’” dan diangkat menjadi
Rasul dengan ‘Al Mudatsir’.[4]
و
الله أعلم بالصواب
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Ketika usia beliau mendekati 40 tahun,
beliau telah banyak merenungi keadaan kaumnya dan menyadari banyak keadaan
kaumnya tidak sejalan dengan kebenaran. Beliau pun mulai sering uzlah (mengasingkan
diri) dari kaumnya. Beliau biasa bertahan di gua Hira yang terletak di Jabal
Nur, dengan membawa bekal air dan roti gandum. Gua Hira merupakan gua kecil
yang berukuran lebar 1,75 hasta dan panjang 4 hasta dengan ukuran dzira’ hadid
(ukuran hasta dari besi).
2. Kompromi dari tiga pendapat ini adalah,
bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Al ‘Alaq 1-5 sedangkan yang pertama
kali turun berupa perintah untuk tabligh (menyebarkan Islam) adalah Al
Muddatsir 1-3 dan yang pertama kali turun berupa surat secara sempurna adalah
Al Fatihah ( Al Burhan fi Ulumil Qur’an, 207, karya Badruddin Az Zarkasyi).
3. Dan sebagian ulama juga ada yang
berpendapat fatratul wahyi hanya beberapa hari saja. Lalu setelah berakhir masa
fatratul wahyi, turunlah wahyu kedua yaitu surat Al Mudatsir ayat 1 sampai 7,
sebagaimana yang ada dalam hadits Jabir radhiallahu’anhu di atas. Dengan
demikian, beliau diangkat menjadi seorang Rasulullah. “Beliau diangkat menjadi
Nabi dengan “Iqra’” dan diangkat menjadi Rasul dengan ‘Al Mudatsir’.
B.
Kritik
dan Saran
Makalah masih jauh dari kesempurnaan sebab isinya
masih sangat sederhana dan disusun sesuai kemampuan penulis olehnya itu saran
dan kritik yang bersifat membangun dan baik dari para pembaca kami sangat
mengharapkannya untuk kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya.
[1] Husein Haekal, Sejarah Hidup
Muhammad, terj: Ali Audah (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2010) h.80
[2] https://muslim.or.id/Turunnya Wahyu
Pertama Kepada Rasulullah Shallallahu’alai Wasallam. (Dikakses pada 05
April 2019 Pukul 20:33 WITA)
[3] Ahmad
Musthafa mutawalli, Ar-raudhah al-Bahiyyah fi Mu’jizah an-Nabi wa
asy-Syama’il Muhammadiyyah, terj: Muflih Kamil.(Jakarta: Qisthi Press,
2009) h.32-33
[4] Muhammad
Abduh Tausikal “Menerima Wahyu Pertama”.Buletin edisi 23 Romaisyo.com. 06/04/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar